Oleh:
Prof. Dr. KH.M.
Erfan Soebahar, M.Ag.
Ketum MUI Kota
Semarang
Di antara sosok yang membentuk arus besar peradaban manusia, Nabi Ibrahim a.s. tampil tidak hanya sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai figur universal yang melampaui sekat zaman dan keyakinan. Keteladanan beliau bukan hanya dikenang oleh umat Islam, tapi juga dirujuk oleh Yahudi dan Kristen sebagai “Abrahamic figure” yang memperjuangkan iman, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Ketika
Indonesia merumuskan dasar negara—yakni Pancasila—para pendiri bangsa
sebenarnya sedang merumuskan nilai-nilai luhur yang telah lama hidup dalam
sejarah kemanusiaan. Dalam konteks ini, Nabi Ibrahim adalah arsitek spiritual
dari nilai-nilai yang kini kita kenal sebagai Pancasila.
1.
Tauhid yang Membebaskan
Di
masa Nabi Ibrahim, masyarakat tunduk pada berhala-berhala ciptaan mereka
sendiri. Berhala itu bukan hanya batu, tapi simbol kekuasaan, kebodohan, dan
ketundukan tanpa nalar.
Dengan
penuh keberanian, Ibrahim a.s.
menyatakan:
"Sesungguhnya
aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah..." (QS. Az-Zukhruf: 26)
Kini,
berhala telah berubah rupa: menjadi uang, kekuasaan, fanatisme kelompok, bahkan
ketakutan sosial. Maka, Tauhid Ibrahim adalah bentuk emansipasi
spiritual—membebaskan manusia dari penghambaan palsu. Inilah ruh Sila Pertama:
Ketuhanan Yang Maha Esa yang tidak menindas, tapi membebaskan.
2.
Kemanusiaan yang Beradab
Sosok
Ibrahim bukan hanya tegas terhadap Namrud, tapi lembut terhadap tamu, penyayang
terhadap keluarganya, dan berdoa untuk orang lain.
Allah
menyebutnya:
"Sesungguhnya
Ibrahim itu penyantun dan penuh penyesalan." (QS. Hud: 75)
Ibrahim
menegaskan bahwa keberanian tidak harus melukai, dan perjuangan tidak boleh
menghilangkan rasa. Ini sejalan dengan Sila Kedua, yang menempatkan kemanusiaan
di atas ideologi. Di era modern, nilai ini menjelma dalam kebijakan yang
memihak pada kaum sakit, miskin, atau rentan—bukan hanya pada pasar dan laba.
3.
Dialog yang Menguatkan Persatuan
Saat
Ibrahim menerima wahyu untuk menyembelih Ismail, ia tidak memaksakan kehendak.
Ia berdialog:
"Wahai
anakku, bagaimana pendapatmu?" (QS. As-Saffat: 102)
Ini
bukan sekadar kisah ketaatan, tapi pelajaran mendalam: bahwa keputusan terbesar
pun perlu musyawarah, bukan dominasi. Ini menjadi dasar Sila Ketiga dan
Keempat, yakni persatuan yang tumbuh dari komunikasi, bukan penyeragaman.
4.
Keadilan yang Memberdayakan
Doa
Ibrahim untuk negerinya tak hanya soal iman, tapi juga pangan dan keamanan:
"Jadikan
negeri ini aman dan beri rezeki dari buah-buahan." (QS. Ibrahim: 37)
Ibrahim
a.s. tak hanya memohon surga, tetapi juga kehidupan yang layak di dunia. Konsep
ini menjadi benih bagi Sila Kelima: keadilan sosial. Dalam praksis, ia hidup
dalam gerakan sosial yang mengolah limbah jadi beasiswa, menjadikan ekonomi
sebagai sarana berbagi, bukan menindas.
Penutup:
Ibrahim dalam Cermin Bangsa
Pancasila
bukan hanya hasil sidang politik, tapi cermin panjang sejarah nilai-nilai
manusia. Dan Nabi Ibrahim a.s. adalah contoh hidup bagaimana prinsip itu
dijalankan:
-Tauhid
tanpa kebencian
-Keberanian
tanpa kekerasan
-Dialog
dalam pengambilan keputusan
-Keadilan
sebagai bentuk kasih sayang
Jika
bangsa ini ingin menjadi besar—bukan hanya kuat secara ekonomi, tetapi kokoh
secara moral—maka jejak Nabi Ibrahim a.s. perlu dihidupkan kembali dalam
ruang-ruang sekolah, rumah ibadah, kantor pemerintahan, hingga pasar rakyat.
"Allahumma,
jadikan Indonesia baladan aminan, seperti yang Kau janjikan lewat doa Nabi
Ibrahim a.s. di tengah padang tandus." (Erfan Subahar)
0Komentar